Pages

Selasa, 27 Desember 2022

Nilai-Nilai Keadilan Sosial Dalam Pertambangan

    Bur Rasuanto mengemukakan bahwa “Keadilan sosial adalah keadilan yang berhubungan dengan pembagian nikmat dan beban dari suatu kerja sama sosial yang sering juga disebut sebagai keadilan distributif”. 

    Nilai-nilai keadilan sosial menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang tentang Perseroan Terbatas dinyatakan bahwa “Makna tanggung jawab sosial dan lingkungan, yaitu:“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.

  • Makna kewajiban terhadap lingkungan adalah setiap kegiatan pertambangan wajib menjaga keseimbangan lingkungan, baik lingkungan biotik (hidup) maupun lingkungan abiotik (benda mati);
  • Makna kewajiban terhadap sosial adalah bahwa setiap ativitas tambang wajib memberdayakan masyarakat, utamanya masyarakat yang hidup di sekitar aktivitas tambang.
Selanjutnya, mengenai keadilan distributif  atau distribusi hasil tambang yang berkeadilan sosial diatur dengan tegas dalam Pasal 128 UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara

(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.
(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
           a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah
        sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
           b. bea masuk dan cukai.
(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
           a. iuran tetap;
           b. iuran eksplorasi;
           c. iuran produksi; dan
           d. kompensasi data informasi.
(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
           a. pajak daerah;
           b. retribusi daerah; dan
           c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penafsiran Dalam Hukum Pidana

    Pentingnya penafsiran dalam hukum pidana karena dalam hal berlakunya tidak dapat dihindari adanya penafsiran atau interprerasi. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. 

    Doktrin hukum pidana mengenal beberapa cara penafsiran,
yaitu sebagai berikut.

1. Penafsiran Autentik
    Penafsiran autentik disebut juga dengan penafsiran resmi. Penafsiran ini mengikuti pengertian suatu istilah/unsur pasal sesuai dengan yang diterangkan dalam Undang-undang. Misalnya, arti waktu "malam" yang diterangkan dalam 98 KUHP "ialah waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit, atau ternak.

2. Penafsiran Historis
    Penafsiran historis adalah cara menafsirkan suatu norma atau unsur pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan, yang didasarkan pada sejarah ketika peraturan perundang-undangan itu disusun. Mencari pengertian dilakukan dengan meneliti atau mempelajari berbagai pendapat atau perdebatan para anggota parlemen dan pemerintah dalam proses terbentuknya perundang-undangan tersebut.
    Bahan-bahan yang dijadikan objek penelitian ini adalah "Memorie van Toelichting (MvT)/ memori penjelasan undang-undang dan Memorie van Antwoord (MvA)/ memori jawaban pemerintah atau parlemen atas suatu rancangan undang-undang.

3.Penafsiran Sistematis
    Penafsiran sistematis adalah suatu cara untuk mencari pengertian dari rumusan norma hukum atau unsur pasal dengan cara melihat hubungan antara bagian atau unsur pasal yang satu dengan bagian atau unsur pasal lainnya dalam suatu undang-undang.

4. Penafsiran Gramatikal
    Penafsiran gramatikal atau penafsiran menurut bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan.